Referensi dan catatan kaki
Belanja di App banyak untungnya:
“Jadikanlah pedangmu bagian dari tubuhmu, maka
penantian dan ketakutan akan tiada lagi” (Asoka)
Bintang Bollywood yang tenar dengan film Kuch-Kuch Ho Ta Hai, Shahrukh Khan tampil dalam sebuah film roman sejarah, Asoka. Dalam film keluaran Arclights ini, Shahrukh Khan yang memerankan Asoka tampil bersama bintang cantik jelita Kareena Kapoor yang berperan sebagai Kuurwakhi, perempuan yang sangat dicintai Asoka.
Film ini tidak berpretensi menjadi film sejarah yang menggambarkan riwayat hidup Raja Asoka dan melukiskan kebenaran sejarah. Film Santosh Sivan yang meski mengambarkan Asoka sejak kecil hingga akhir kekuasaannya ini lebih tepat dikatakan sebagai film roman percintaan yang berlatar belakang sejarah hidup (percintaan) Raja Asoka.
Kisah percintaan Asoka dengan Kuurwakhi, putri kerajaan Kalingga menjadi tema cerita dipadu dengan sejarah Asoka, raja besar yang hidupnya sarat dengan peperangan dan berbagai pertempuran. Kuurwakhi adalah kakak dari pewaris takhta Kalingga, seorang anak kecil yang bernama Ariya. Ariya kecil ini sangat mengagumi Pawen (nama seekor kuda, nama yang dipergunakan Asoka dalam memperkenalkan dirinya). Kisah cinta Asoka dan Kuurwakhi yang kandas oleh perpisahan dan tipu daya pada akhirnya dapat dipertemukan kembali di medan laga, mereka saling berhadapan sebagai kesatria yang saling berlawanan.
Di tengah kisah percintaan mereka terselip Devi yang secara tidak sengaja diperistri Asoka. Perempuan dari kalangan beragama Buddha ini berani berhadapan dengan kebengisan Asoka yang timbul karena frustrasinya tidak mendapatkan Kuurwakhi, gadis yang dicintainya. Kehadiran Devi yang tidak disengaja dalam kehidupan Asoka inilah yang melahirkan putra-putri Asoka, yang akhirnya menjadi utusan-utusan dharma menyebarluaskan Buddhadharma.
Film dibuka ketika Asoka kecil memohon kepada kakeknya, Chandragupta Maurya, raja yang akan pergi menjalani hidup sebagai pertapa untuk memberikan kepadanya sebuah pedang pusaka. Kakek Asoka itu tidak memberikannya seraya mengingatkan bahwa, pedangnya itu adalah bukan pedang biasa melainkan pedang durjana. Dikatakannya, bila pedang itu dikeluarkan dari sarungnya, maka ia akan meminta darah, tidak kenal lawan dan kawan, dan hanya darah saja.
Asoka kecil yang keras kepala itu tidak menghiraukan peringatan kakeknya. Ia memungut kembali pedang pusaka di sela-sela batu sebuah sungai yang telah dilempar kakeknya. Sebagai putra dari seorang raja yang beristri banyak, bersama pedang pusaka itu Asoka menjadi seorang yang jago perang. Ia menjadi panglima perang yang sangat ditakuti, apalagi ia juga kandidat pewaris takhta.
Sebagai panglima perang yang handal, banyak wilayah ditaklukkan diantaranya adalah Taxila. Sebagai pewaris takhta, Asoka juga tidak luput dari upaya pembunuhan terhadap dirinya oleh pesaingnya, seperti Sushima saudara tirinya yang sangat iri dan takut warisan takhta jatuh ke tangan Asoka.
Pada dasarnya, Asoka sendiri bukanlah orang yang berambisi merebut takhta, meski kehandalannya dalam berperang mensyaratkan bahwa ia pantas sebagai raja. Ia bahkan mengabulkan permohonan ibunya untuk meninggalkan negerinya dan menjadi orang biasa. Ibunya tak mengingingkan terjadinya perebutan takhta dengan Sushima. “Kamu tak mau nak kamu menaiki takhta. Aku lakukan semua ini untuk kamu,” ujar Asoka yang juga ingin menghindari konflik memperebutkan takhta Magadha dengan Sushima dan saudara-saudara tirinya yang lain. Asoka pun pergi meninggalkan Magadha
Namun, nasib membawanya lain. Dalam perjalanan ke luar kerajaannya, ia bertemu dengan seorang pertapa yang meramalkan tentang nasib dirinya dan perjalanan hidupnya. “Nasib kau adalah lebih baik dari sang raja.” Maksud, ramalan pertapa terhadap diri dan hidup ini adalah bahwa Asoka lebih baik dari raja biasa, bisa menjadi raja dari segala raja, raja besar serta mengalami drama kehidupan yang besar lainnya.
Di tengah pengembaraannya itulah ia berjumpa dengan Kuurwakhi, yang disebutnya sebagai satriani Kalingga, perempuan satria dari kerajaan Kalingga. Mereka saling jatuh cinta, dan film pun – sebagaimana film-film India pada umumnya – berhias dengan lagu-lagu percintaaan India yang khas.
Di tengah-tengah danau dengan curahan air terjun, diantara pepohonan dalam pemandangan alam India yang menawan, diantara lekukan tubuh Kareena Kapoor yang indah dan tatapan mata Shahruk Khan yang tajam, kedua sejoli itu berkasih dan saling berjanji. Namun keadaan harus memisahkan mereka berdua.
Sebelum berpisah, Asoka sempat mengajarkan Kuurwakhi ilmu pedang. “Jadikanlah pedangmu bagian dari tubuhmu, maka penantian dan ketakutan akan tiada lagi,” bisik Asoka, diantara pipi Kuurwakhi yang memerah. Cinta yang mempertemukan mereka, cinta jua yang memisahkan mereka, dan dengan cinta pula kedua negeri mereka yang saling bertempur bersatu kembali pada akhirnya.
Setelah Sushima terbunuh, dan mengingat keadaan kerajaan yang membutuhkan orang kuat seperti dirinya, maka endapan ambisi besar Asoka yang selama ini tersimpan akhirnya tak tertahankan lagi. Ambisinya pun meletus bagai magma gunung berapi yang memuncratkan laharnya. Melalui pedang pusakanya yang berkelebatan kesana kemari, ia mengalahkan musuh-musuhnya, dari satu medan pertempuran ke medan pertempuran lainnya. Dan nasib pun seakan membawanya memenuhi ramalah sang pertapa, untuk menjadi raja besar.
Seakan memang suratan nasib telah menggariskannya menjadi seorang raja besar yang ditakuti melalui peperangan yang selalu meminta darah dari setiap pedangnya yang keluar dari sarungnya, Asoka pun menjadi raja besar, dan mendapat julukan Asoka yang durjana. Asoka yang durjana karena telah membunuh kakak-kakaknya serta lawan-lawannya yang ditaklukkan dalam berbagai peperangan.
“Aku akan menjadi raja yang teragung di bumi ini. Lebih agung dari raja Bidursana dan lebih kuat dari Chandragupta Maurya.” Demikian ikrar Asoka dihadapan istrinya, Devi. Istrinya yang sabar, penuh cinta namun berani itu dan ia pun berkata; “Ini cinta jenis apa yang hidup walau sudah mati. Kuurwakhi saja yang ada di hatimu. Luka cinta tak akan biarkan kamu hidup atau mati.” Devi sadar, ambisi dan kebengisan Asoka itu muncul lantaran cintanya tak kesampaian dengan Kuurwakhi, atau sebagai kompensasi kehilangan Kuurwakhi yang disangkanya telah tewas dalam intrik politik pejabat istana Kalingga dalam melenyapkan pewaris takhta Kalingga.
Raja Asoka dinilai sungguh luar biasa kejamnya. Bahkan orang-orang menyangsikan apakah dia itu manusia atau setan. Asoka berani membunuh orang yang tidak bersalah, dan sanggup melakukan apa saja untuk memenangkan perang. Kematian Kuurwakhi diangkatnya menjadi kematian bagi orang-orang yang ada disekelilingnya, terutama lawan-lawannya.
Istri dan saudara-saudaranya, bahkan Vitar pengawal setianya menolak dan menghindari Asoka. Bahkan istrinya tak menghendaki anaknya menjadi seperti ayahnya. “Saya harap bila anakku membuka matanya dia tengok kasih sayang saja dan bukan kematian. Perkataan pertama yang dia dengar mestilah sesuatu yang manis, dan bukan pekikan dan raungan kesakitan.”
Devi, istrinya yang penyabar dan penuh kasih sayang meski tahu ia tak mendapatkan cinta Asoka, akhirnya meninggalkannya. Tiada lagi teman dekat dan setia di samping Asoka. Vitar yang sudah berusaha mengembalikan Asoka ke jalan yang benar juga tidak sanggup dan harus dengan berat hati meninggalkan Asoka. Sebelum pergi, kepada Raja Besar Asoka yang telah gelap mata itu, Vitar mengatakan: “ Kamu bukan kawan siapa-siapa.”
Sedangkan adik Asoka sendiri, Vitasoka yang penyair mengatakan: “Kau adalah musuh dirimu sendiri. Karena itulah kau dipanggil “durjana”, Asoka. Aku beritahu, kau sudah jadi seroang ayah. Mahendara adalah anak lelaki kamu, dan Sanghamitra adalah anak perempuan kamu. Kamu hanya seorang raja, bukan seorang ayah.”
Tapi Asoka tetap bersikeras menganggap dirinya sebagai raja besar, yang besar karena peperangan dan penaklukkan. Cinta telah tidak ada lagi dalam kamus hidupnya sejak panglima Kuurwakhi yang jealous kepadanya memberi tahu bahwa Kuurwakhi telah tewas dalam intrik istana Kalingga. Yang tersisa dalam diri Asoka adalah kebalikannya dari cintanya yang besar, yakni ambisi yang besar untuk menjadi raja besar, sebagai kompensasi cinta besarnya yang telah tak kembali.
“Kebenaran tidak akan berubah jika menukar pendirian. Perang adalah kebenaran. Dalam perang, menang atau mati. Dan aku telah menang,” demikian Asoka berkilah dihadapan adiknya, Vitasoka.
“Ya, memang kau telah menang. Memenangi tangisan bayi, anak yatim dan mayat. Kau telah menang semuanya,” ucap Devi sesaat sebelum meninggalkannya. Begitu pula ketika Asoka bertemu dengan Kuurwakhi, satriani Kalingga – yang ternyata masih hidup – kembali namun dalam keadaan berhadapan satu sama lain di medan perang yang bau amis mayat, Kuurwakhi menyatakan. “Kau telah jatuh diatas kekayaan, kuda yang cantik dan kuat. Kau tidak menang. Aku tidak akan benarkan kau menang.”
Di tengah saat matahari terbenam, dan denting suara mantram para bhiksu yang sedang menyucikan mayat-mayat korban pertempuran yang berserakan di medan laga, dan dalam dekapan cinta dan kerinduan Kuurwakhi, akhirnya Raja besar, gagah berani yang telah menaklukkan ribuan musuh dalam berbagai medan laga itu pun merintih.
“Aku telah menjadi raja yang teragung. Pemerintah yang terkuat. Aku telah memenangi semuanya. Aku juga telah hancurkan semuanya. Apa yang seseorang raja boleh memenangi? Cuma kekayaan, tanah dan negara. Nasib aku melebihi kemauan seorang raja. Nasib aku adalah seorang pengembara, yang telah tamatkan destinasinya. Dan hari ini aku mutlakkan peneguhan perjalanan kasih sayang yang aman dan tenteram,” Kemudian Asoka pun melemparkan pedang pusakanya. (JP).
UNLIMITED TV SHOWS & MOVIES
UNLIMITED TV SHOWS & MOVIES
Sejarah penggunaan simbolis
Kala Buddha Gautama mencapai pencerahan di Bodh Gaya, ia datang ke Sarnath, di pinggiran Varanasi (Benares). Di sana, ia bertemu kembali dengan lima muridnya, Assaji, Mahānama, Kondañña, Bhaddiya, dan Vappa, yang sebelumnya telah lama berpisah. Ia pun mengajarkan ilmu pertamanya kepada mereka, dan menegakkan dharmacakra. Motif ini kemudian diadopsi oleh Asoka dan digunakan pada pilar-pilarnya.
Dua puluh empat jeruji roda dimaknai sebagai dua belas hubungan sebab-akibat yang diajarkan oleh Sang Buddha dan paṭiccasamuppāda (hukum sebab-musabab bergantungan) dalam arah maju dan mundur.[1] Dua belas jari-jari pertama menggambarkan dua belas tahap penderitaan. Dua belas jari-jari berikutnya mewakili keadaan tanpa sebab-akibat. Jadi, karena kesadaran pikiran, pembentukan kondisi mental berhenti. Proses ini menghentikan proses kelahiran dan kematian yaitu nibbāna. Dua belas hubungan sebab akibat, beserta simbolnya, antara lain:
Kedua belas jeruji baik ke luar maupun ke dalam ini mewakili total 24 jari-jari yang mewakili dharma.
Cakram Asoka ditempatkan pada bagian tengah pada warna putih Bendera Nasional India. Cakram Asoka yang berbentuk lingkaran sempurna ini melambangkan semangat kemajuan negara.
Cakram Asoka adalah penggambaran Dharmacakra (Roda Dharma); yang muncul dengan 24 jeruji. Cakram ini disebut demikian karena telah banyak muncul dalam maklumat-maklumat Asoka, yang paling menonjol muncul pada simbol hulu tiang Singa Asoka. Cakram Asoka saat ini muncul pada bendera India (resmi diadopsi 22 Juli 1947), yang ditampilkan dengan warna biru tua di atas latar putih, menggantikan lambang carkha (mesin pintal) dari versi bendera sebelum kemerdekaan.
Bintang kehormatan perdamaian tertinggi di India yang diberikan atas jasa-jasanya dalam keberanian dan pengorbanan diri di luar medan perang juga disebut "Ashoka Chakra".